Madrasah Dâr al-‘Ulûm al-Islâmiyyah al-Jâwiyyah; Saksi Bisu Masa Keemasan Ulama Nusantara di Timur Tengah itu Kini Tinggal Kenangan
—A. Ginanjar Sya’ban
Para Ulama Nusantara pernah menorehkan sejarah masa keemasan mereka (dalam karir, karya, dan pengaruh intelektual) di kota suci Mekkah al-Mukarromah selama lebih dari satu abad—akhir abad ke-19 M hingga paruh kedua abad ke-20 M.
Sepanjang masa itu para ulama Nusantara banyak yang menjadi syaikh (guru besar) yang mengajar di Masjid al-Haram dan beberapa institusi keilmuan Mekkah lainnya, khatib, musnid (mata rantai keilmuan), mu’allif (pengarang), jurnalis, diplomat, penyair, dan lain sebagainya.
Sepanjang masa itu pula, para ulama Nusantara telah memberikan warna dan peran besar bagi sejarah perkembangan tradisi keilmuan dunia Islam, melalui Mekkah al-Mukarramah sebagai sentral utamanya.
Sebut saja misalnya Syaikh Nawawî al-Bantanî (Banten, w. 1897 M, pengarang Tafsîr Marâh Labîd dan puluhan kitab rujukan lainnya), Syaikh ‘Abd al-Haqq al-Jâwî (w. 1899 M, pengarang Hâsyiah Tadrîj al-Adânî ‘alâ Syarh al-Taftâzânî fî Tashrîf al-Zanjânî), Syaikh Zainuddîn al-Sumbâwî (Sumbawa, w. ?), Syaikh ‘Abd al-Ghanî Bîmâ (Bima, w. ?), Syaikh Ahmad al-Khatîb al-Mankabâwî (Minangkabau, w. 1916 M, pengarang Hâsyiah al-Nafahât ‘alâ Syarh al-Waraqât), Syaikh Muhammad Mahfûzh al-Tarmasi (Tremas, w. 1920 M, pengarang Hâsyiah Mauhibah Dzî al-Fadhl ‘alâ Syarh Muqaddimah Bâ Fadhal fî al-Fiqh al-Syâfi’i), Syaikh Muhsin al-Falambânî (Palembang, w. 1935 M), Syaikh ‘Alî ibn ‘Abdullâh al-Banjarî (cicit Syaikh Arsyad Banjar, w. 1951 M), Syaikh ‘Abd al-Qâdir al-Mandîlî (Mandailing, w. 1965 M, pengarang al-Khazâin al-Sunniyyah min Masyâhir al-Kutub al-Fiqhiyyah al-Syâfi’iyyah), dan Syaikh Yasin al-Fadani (Padang, w. 1991 M, musnid al-zaman), dan lain-lain.
Beberapa nama di atas adalah sekian dari banyaknya ulama asal Nusantara yang mengajar dan berkarir di Mekkah dan diakui taraf keilmuannya secara internasional.
Salah satu saksi bisu yang merekam kenangan masa keemasan tersebut adalah Madrasah Dâr al-‘Ulûm al-Dîniyyah al-Jâwiyyah yang berdiri di Mekkah. Madrasah ini didirikan pada tahun 1353 H (1934 M) oleh beberapa ulama asal Nusantara.
Tak lebih setahun pasca dibukanya, madrasah ini segera mendapatkan sambutan dan reputasi yang luar biasa. Institusi pendidikan ini pun berkembang pesat dan besar, yang bukan hanya menjadi tempat belajar dan mengajar orang-orang Nusantara yang berada di Mekkah, namun juga bagi para pelajar dan ulama dari pelbagai macam negeri lainnya. Dari madrasah ini pulalah kelak para ulama besar Nusantara dan beberapa dunia Islam lainnya lahir dan bermunculan.
Direktur pertama Madrasah Dâr al-‘Ulûm adalah Muhsin Ali al-Falambanî (w. 1936 M), seorang ulama muda asal Palembang yang karir intelektualnya cemerlang dan malang melintang di Mekkah pada saat itu. Al-Falambanî ini jugalah yang mengonsep Madrasah Dâr al-‘Ulûm al-Dîniyyah sebagai pusat riset, selain pusat belajar. Ia mendirikan perpustakaan besar di dalam kompleks madrasah yang menghimpun banyak koleksi kitab-kitab langka (nafâis al-kutub), baik manuskrip (makhthûth) ataupun cetak (mathbû’).
Syaikh Mahmûd Sa’îd Mamdûh, ulama Mesir lulusan Madrasah Dâr al-‘Ulûm al-Dîniyyah yang juga salah satu murid terdekat Syaikh Yâsîn al-Fâdânî mengatakan (dalam Tasynîf al-Asmâ’, juz II, hal. 112-113), jika perpustakaan Madrasah Dâr al-‘Ulûm al-Dîniyyah al-Jâwiyyah adalah perpustakaan yang menghimpun koleksi kitab-kitab madzhab Syafi’i terbesar di Mekkah pada masanya.
Dikatakan Mamdûh, jika puluhan ulama Nusantara di Mekkah memiliki kebiasaan untuk mewakafkan kitab-kitab mereka bagi perpustakaan tersebut, baik kitab-kitab karangan mereka atau pun karangan-karangan ulama lain yang mereka kaji dan ajarkan, yang mana di sana terdapat banyak catatan-catatan pentingya (taqrîrât muhimmah) yang mereka tuliskan.
Sang direktur pertama, Syaikh Muhsin al-Falambânî, juga memiliki hobi menyalin naskah (naskh al-makhtûth) sekaligus mengoleksi manuskrip dan kitab-kitab langka (nawâdir al-kutub). Di antara naskah langka koleksi beliau adalah “Syarh al-Syaikh Khâlid al-Azharî ‘alâ Jam’ al-Jawâmi’”, “Fath al-Fattâh fî Syarh al-Îdhâh li Ibn ‘Allân”, “Hâsyiah al-Syanwânî ‘alâ al-Minhâj”, dan lain-lain.
Di perpustakaan ini juga dulu karya-karya ulama Nusantara yang masih berupa manuskrip tersimpan. Karya-karya Syaikh Mahfuzh al-Tarmasî yang belum diterbitkan dan masih berupa manuskrip tersimpan di sini, termasuk beberapa manuskrip kitab karya adik beliau, yaitu Syaikh Ahmad Dahlan al-Tarmasî.
Madrasah Dâr al-‘Ulûm al-Dîniyyah al-Jâwiyyah masih terus “jumeneng” hingga dekade tahun 1990-an, dengan direktur terakhirnya Syaikh Yâsîn al-Fâdânî. Selepas meninggalnya beliau, tak ada lagi sosok yang meneruskan kepemimpinan madrasah bersejarah ini, sebagai mana tak ada lagi sosok yang meneruskan keulamaan Nusantara di Mekkah yang sudah terbangun turun temurun sebelumnya. Syaikh Yâsîn Padang adalah sosok ulama Nusantara terakhir yang ada di Mekkah.
Dengan wafatnya beliau, berakhir pulalah sejarah keemasan ulama Nusantara di Mekkah, sebagaimana berakhir pula sejarah Madrasah Dâr al-‘Ulûm al-Dîniyyah al-Jâwiyyah yang menjadi mercusuar kebanggaan Nusantara sekaligus saksi bisu sejarah masa keemasan itu. Para murid Syaikh Yâsîn Padang asal Nusantara mayoritas tidak berkarir dan berkiprah di Mekkah, namun berkarir dan berkiprah di Nusantara; sebagian menjadi tokoh nasional, sebagian menjadi ulama lokal yang mengampu pesantren-pesantren, dan lain sebagainya.
Sepeninggalnya Syaikh Yâsîn Padang, Madrasah Dâr al-‘Ulûm al-Dîniyyah al-Jâwiyyah mulai pudar dan tak terurus, hingga akhirnya diambil alih oleh pemerintah Kerajaan Saudi Arabia dan merubahnya menjadi madrasah biasa. Bayangkan: dari sebuah institusi bergengsi bereputasi internasional, kawah candradimuka para ulama Nusantara, kemudian berubah menjadi sekolah biasa! Perpustakaan madrasah itu yang menyimpan harta karun kekayaan khazanah intelektual ulama Nusantara di Mekkah pun diambil alih dan koleksi-koleksinya digabung di beberapa perpustakaan negara itu.
Kenyataan ini tentu membuat kita sedih. Madrasah Dâr al-‘Ulûm al-Dîniyyah al-Jâwiyyahitu kini tinggal sisa-sisa kenangan. Namun lebih sedih lagi ketika perlahan-lahan para santri Nusantara justru melupakan dan menyia-nyiakan kenangan yang masih tersisa itu.
Tentu, sudah seharusnya para santri Nusantara membuat “resolusi jihad ilmiyah” untuk menghimpun serpihan-serpihan kenangan zaman yang masih tersisa itu, merawat yang masih ada, untuk kemudian menjadi bahan membangun kembali masa keemasan sejarah ulama Nusantara yang dahulu pernah ditatah oleh para leluhur dan panutan para santri; para ulama yang luar biasa itu.
Kairo, 29 April 2016