Oleh Dr. H. Mujetaba Mustafa, M.Ag
Al-Hamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadhirat Allah SWT atas perkenan-Nyalah kita bisa berkumpul di tempat ini untuk menunaikan shalat Idul Fitri sembari kita mengumandangkan Takbir, Tahmid dan Tahlil sebagai pengakuan kita akan kebesaran-Nya. Idul Fitri adalah hari raya Islam yang disebut hari raya berbuka, setelah sebulan penuh kita berpuasa, menahan lapar dan dahaga, kini tibalah saatnya hari berbuka.
Shalawat dan salam kita kirimkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, Nabi yang telah mengajarkan kepada kita pentingnya menunjukkan kepedulian kepada sesama. Keselamatan dan kesejahteraan semoga tercurah kepada beliau, keluarganya, sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya.
Sebagai muslim, kita wajib meyakini bahwa Allah SWT tidaklah menciptakan kita kecuali untuk menyembah kepada-Nya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.“ (QS. Az-Dzariyat: 56). Olehnya itu, jika ada manusia yang menyombongkan diri tidak mau taat dan tunduk kepada Allah SWT, maka ia telah mengingkari tujuan ia diciptakan. Akibat dari keingkaran tersebut, ia akan menghuni neraka dalam keadaan dihinakan.
Ketika masih berada di alam rahim, Allah SWT telah mengambil perjanjian kesiapan dari manusia untuk menyembah hanya kepada-Nya sebelum mereka lahir ke muka bumi ini. Allah SWT menanyai ruh manusia tentang kesiapan mereka mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya dengan semua konsekuensinya, lalu ruh tersebut menjawab dengan tegas bahwa mereka bersaksi tiada Tuhan selain Allah yang berhak mereka imani dan mereka sembah. Allah bertanya kepada ruh tersebut:
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap (ketauhidan) ini” (QS. Al-A’raf: 172)
Dalam menjaga komitmen kehambaan yang diikrarkan pada alam rahim tersebut, Allah SWT memerintahkan manusia setelah ia lahir, agar menghadapkan wajahnya kepada agama yang lurus sebagai fitrah kehambaannya, sebagaimana firman-Nya:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 30)
Fitrah adalah kesucian jiwa yang senantiasa tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Namun keadaan manusia sekitarnya yang telah mempengaruhinya sehingga menodai kesucian fitrah tersebut. Maka berubahlah ia dari ketauhidan menjadi kemusyrikan, dari keimanan menjadi kekafiran. Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari)
Fitrah adalah suasana jiwa yang suci yang menjelma dalam pemeliharaan tauhid, ketundukan dan penghambaan, serta pemeliharaan kesucian diri sebagai hamba Tuhan yang Maha Pengasih. Jika di penghujung Ramadhan ini kaum muslimin merayakan hari Raya Idul Fitri, tentu maknanya adalah kesiapan untuk menjadikan momentum Ramadhan ini sebagai proses pembersihan diri dan kesadaran akan urgensi kembali kepada fitrah. Dan hakikat kembali fitrah itu diwujudkan dalam bentuk mengokohkan ketauhidan, menguatkan komitmen ubudiyah, dan memelihara karakteristik terpuji.
Wujud kembali kepada fitrah yang pertama adalah: Mengokohkan Ketauhidan
Ibadah Ramadhan telah kita sempurnakan, mulai dari puasa, shalat tarawih, tilawatil Qur’an, membayar zakat fitrah dan zakat harta, I’tikaf, membaca dzikir dan ma’tsurat, hingga hari ini kita tuntaskan dengan melaksanakan shalat Idul fitri. Semuanya itu kita yakini sebagai bentuk aktualisasi keimanan kita kepada Allah SWT.
Sebagai hamba, kita menyadari begitu banyak kekurangan yang telah kita lakukan. Terkadang kita sibuk berhari-hari, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun bekerja keras dan banting tulang hanya untuk menyenangkan hati orang-orang yang kita cintai. Suami menghabiskan hampir semua waktu siangnya untuk menyenangkan istrinya hingga berkali-kali ia meninggalkan shalat Zhuhur dan Asharnya, dan istri menghabiskan hampir semua waktu malamnya untuk menyenangkan suaminya hingga berkali-kali ketinggalan shalat Maghrib dan isyanya. Keadaan itu tentu menjadikan kita seolah lemah keimanannya hingga boleh jadi sampai pada titik keimanan yang sangat lemah. Jika suasana itu terus berlanjut, kita pasti akan semakin jauh dari fitrah kita.
Ramadhan adalah momentum yang sangat efektif untuk mengokohkan keimanan kita dan mengembalikan kita kepada fitrah. Ramadhan merupakan bulan yang disiapkan Allah SWT untuk mendidik jiwa-jiwa yang menjauhi-Nya untuk kembali kepada-Nya, mendidik jiwa-jiwa yang berlumur dosa untuk datang memohon ampunan kepada-Nya, mendidik jiwa-jiwa yang lalai dari ibadahnya untuk bersimpuh bersujud dan mengikhlaskan pengabdiannya. Semoga Ramadhan ini mampu kita buktikan sebagai bulan mengokohkan iman dan ihtisab (mengharap pahala) kita kepada-Nya, sehingga kita semua mendapatkan ampunan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa berpuasa dengan iman dan ihtisab (mengharap pahala hanya dari Allah), akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari)
Melalui momentum Idul fitri ini, marilah kita mengokohkan keimanan dan tauhid kita, yang dengannya kita akan senantiasa terjaga pada fitrah kehambaan kita yang lurus, kita akan dijauhkan dari sikap menghinakan diri kepada makhluk. Dengan kekuatan tauhid, orang yang kaya akan menjaga fitrah dirinya sehingga tidak sombong dan angkuh, dengannya pula orang miskin akan tegar mengarungi ujian hidupnya dan tidak berputus asa.
Wujud kembali kepada fitrah yang kedua adalah: Menguatkan Komitmen Ubudiyah
Fitrah kehambaan menuntut setiap muslim untuk membuktikan komitmen ibadahnya. Dia dituntut tidak hanya bersungguh-sungguh menunaikan semua ibadah-ibadah fardhu, tapi juga ibadah-ibadah sunnah. Dengan pembuktian komitmen tersebut, setiap muslim akan mampu mengantarkan dirinya kepada ketakwaan. Al-Qur’an menegaskan bahwa dibalik perintah ibadah puasa tersebut Allah SWT menghendaki agar setiap hamba yang melaksanakannya dapat mengantarkan dirinya ke derajat takwa.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Perintah takwa adalah perintah agama yang harus dilanggengkan dalam kehidupan setiap muslim, ia wajib memeliharanya hingga ia berhadapan dengan kematiannya. Apabila seseorang memelihara ibadahnya secara benar dan konsisten, akan terangkat derajat ketaqwaannya, suatu derajat istimewa yang menjadikannya lebih mulia dari hamba-hamba yang lain. Allah SWT berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Jika seorang muslim ingin membuktikan kesungguhannya untuk kembali kepada fitrahnya, salah satu bentuknya adalah dengan membuktikan komitmen ibadahnya. Ia memelihara shalat yang difardhukan kepadanya dan melengkapinya dengan shalat-shalat sunnah. Ia berpuasa wajib dan melengkapinya dengan puasa-puasa sunnah. Mengeluarkan zakat dan menyempurnakannya dengan infak dan sedekah. Ia melaksanakan haji ke Baitullah dan menyempurnakannya dengan umrah.
Ibadah itu mempunyai tujuan asasi dan tujuan-tujuan lain yang menyertainya, di mana tujuan-tujuan yang menyertai ibadah tersebut merupakan keshalihan jiwa dan meraih keutamaan dalam setiap ibadah. Imam As-Syathibi mengatakan bahwa asal mula disyariatkannya ibadah shalat adalah ketundukan kepada Allah SWT dengan mengikhlaskan penghadapan diri kepada-Nya, bersimpuh di atas kaki kehinaan di hadapan-Nya dan mengingatkan jiwa agar senantiasa ingat kepada-Nya. Allah SWT berfirman “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (QS. Thaha: 14) Dan firman-Nya, “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (dalam shalat) lebih besar keutamaannya.” (QS. Al-Ankabut: 45).
Dengan menjaga konsistensi ibadah dan menegakkannya secara sempurna, seorang muslim akan terpelihara fitrah kesuciannya.
Wujud kembali kepada fitrah yang ketiga adalah: Memelihara Karakteristik Terpuji
Cara lain memaknai pemeliharaan fitrah kita adalah dengan menjaga karakteristik kehambaan kita. Karakteristik yang dimaksud adalah karakter amanah, jujur, sabar dan syukur. Apabila seseorang memiliki sifat-sifat tersebut, maka ia akan merasakan ketenangan dalam hidupnya. Ia tidak perlu merasa khawatir sebagaimana khawatirnya orang yang suka berkhianat, karena takut terbongkar pengkhianatan-nya, atau seperti pendusta yang takut terbongkar kebohongannya. Ia juga akan terhindar dari bahaya pertengkaran dan perselisihan yang besar, karena sifat sabar yang dimilikinya. Bahkan ia akan dicintai orang sekitarnya, karena tidak menunjukkan sifat tamak dan rakus, disebabkan kuatnya sifat syukur dalam dirinya.
Orang yang amanah, jujur, sabar dan syukur adalah orang yang akan disenangi dan dirindukan semua orang. Ia adalah bukti nyata orang yang bersungguh-sungguh memelihara fitrah kehambaanya. Semua karakter terpuji itu tentu tidak lahir begitu saja, tapi melalui proses penempaan dan pelatihan. Dan salah satu sarana pelatihan itu adalah puasa. Dengan berpuasa, seseorang akan terdidik untuk bersifat amanah, karena dalam berpuasa ia sudah melatih dirinya agar amanah memelihara puasanya dari segala hal yang membatalkannya, meski pun orang lain tidak melihatnya. Ia memelihara amalan puasanya semata-semata karena Allah SWT. Ia mungkin bisa berbohong kalau ia makan dan minum secara sembunyi, tapi ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri yang sedang terkondisi untuk mendekat kepada Allah SWT.
Puasa juga membentuk karakter sabar. Rasulullah SAW bersabda: “Puasa adalah setengah dari kesabaran”. Dengan menguatnya sifat sabar pada diri seorang muslim, ia akan bisa menjaga diri untuk tidak terlibat dalam konflik, pertentangan, apalagi permusuhan sekecil apa pun lingkup dan kadarnya. Dan kalau pun harus terlibat dalam sebuah perbedaan pendapat, maka ia akan bisa menyikapinya dengan sikap-sikap yang bijaksana. Ia tidak mau perbedaan pendapat itu mengundang malapetaka yang besar, yaitu munculnya rasa gentar dan hilang kekuatannya dalam menghadapi musuh-musuhnya. Ia merenungkan firman Allah SWT tentang hal tersebut:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al-Anfal: 46)
Marilah kita kokohkan persaudaraan kita sesama muslim di atas rasa cinta dan itsar (mengutamakan saudara). Janganlah perbedaan-perbedaan seperti menetapkan masuknya 1 Syawal menjadikan kita saling berbantah-bantahan dan saling membenci. Sikap itu hanya akan memuaskan setan dan hawa nafsu yang selalu menyuruh kepada keburukan. Kita juga akan dihinggapi rasa lemah dan gentar sehingga kita tidak akan pernah menjadi umat yang kuat. Hati kita pun akan kehilangan karakteristiknya yang terpuji, berganti dengan karakter pemarah, egois, dan merasa paling benar. Akhirnya kita tidak kembali kepada fitrah, padahal kita berkumpul menaikkan shalat Idul fitri hari adalah agar kita kembali kepada fitrah kita.
Untuk mengakhiri khutbah ini, marilah kita tundukkan kepala kita, melupakan kebesaran diri kita di hadapan manusia, mengakui betapa kecil dan lemahnya kita di hadapan Allah Penggenggam langit dan bumi.
اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
Ya Allah Ya Rabb, kami berlindung pada-Mu dari hawa nafsu yang penuh ambisi, yang selalu mau menang sendiri dan tidak mau peduli dengan penderitaan sesama. Jadikanlah kami hamba-hamba yang tahu mensyukuri nikmat dan karunia-Mu. Tanamkanlah dalam hati kami kepekaan rasa, yang membuat kami mampu meraba penderitaan saudara-saudara kami dan mau membantunya.
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيم
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang“
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ.
Ya Allah, ampunilah dosa kaum muslimin dan muslimat, mu’minin dan mu’minat, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Dekat dan Mengabulkan doa.
Ya Allah yang Maha Kuat! berikanlah kami kekuatan agar kami mampu memikul beban yang dititipkan di pundak kami, Ya Allah yang maha Maha Kaya lepaskanlah kami dari lilitan utang dan kesulitan ekonomi kami, Ya Allah yang Maha Penyayang buanglah rasa benci dan dendam yang bersemayam di dalam dada kami, Ya Allah yang Maha Pengasih tanamkanlah dalam dada kami rasa kasih kepada orang tua kami, anak-anak kami, dan saudara-saudara kami. Ya Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Penerima Taubat dengarlah permohonan kami dan terimalah taubat kami. Innaka Antas Samiud Du’a wa Innaka Antat Tawwabur Rahim.
Ya Allah Ya Rabb, anugerahkan rasa syukur kepada kami agar kami dapat mengerti arti jasa ibu bapak kami, terkhusus ibu kami, yang bersedia dengan tulus menampung kami selama berbulan-bulan di dalam rahimnya dalam keadaan lemah dan bertambah lemah, yang rela bersakit-sakit bersimbah darah ketika melahirkan kami, yang bersedia mempertaruhkan nyawanya demi agar kami dapat menghirup udara kehidupan, yang bersedia terganggu tidurnya setiap malam demi agar kami dapat tertidur lelap, yang bersedia menahan rasa lapar dan dahaganya demi agar kami dapat merasakan kenyang.
Ya Allah Ya Rabb, kami tahu keridhaan-Mu terdapat pada keridhaannya dan kemurkaan-Mu terdapat pada kemurkaannya, maafkan kami jika selama ini khilaf telah melukai hatinya atau membuatnya tidak ridha kepada sikap dan tingkah laku kami. Maafkan kami ya Allah jika kami tidak mampu membalas kebaikannya. Kami tahu bahwa yang ia butuhkan dari kami bukanlah materi dan harta tapi cinta dan kasih sayang kami seperti ia menyayangi kami di waktu kecil. Maafkan kami jika ia sakit kami tak menjenguknya. Jika ia butuh, kami tak di sampingnya. Jika ia merindukan kami, kami tak datang menyapanya. Ya Allah ya Rabb Jadikanlah kami hamba-hamba yang siap mengistimewakannya di dalam hati kami, lalu mau membalas jasa-jasanya, meski kami sadar tidak akan mampu membalasnya.
ربنااغفر لنا ولوالدينا وارحمهما كما ربيانا صغيرا
Ya Allah Ya Rabb. Kabulkanlah permohonan orang-orang kecil bangsa kami yang merindukan ketenangan, kestabilan dan kemakmuran. Jangan Engkau timpakan azab kepada kami hanya karena kedurhakaan segelintir orang di antara kami. Jadikanlah kami mulia dengan kesederhanaan kami dan janganlah Engkau hinakan kami dengan curahan rezki yang melimpah ruah.
Bimbinglah ya Allah derap langkah kami dan pemimpin kami yang dengan tulus ikhlas hendak mengeluarkan kami dari keterpurukan dan kesulitan hidup, dengan kemurahan dan kasih sayang-Mu. Agar kami dapat mengantarkan bangsa kami ini menuju negeri yang lebih baik yaitu Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur.
اللهم يا مجيب دعوة المضطر اذادعاك نسألك موجبات رحمتك وعزائم مغفرتك والعزيمة على الرشد والغنيمة من كل بر و السلامة من كل اثم والفوز بالجنة والنجاة من النار
Ya Allah jika begitu lama kami melalaikan perintah-Mu. Jika bertahun-tahun kami terpedaya oleh hawa nafsu kami sehingga lalai dari jalan-Mu, jika dengan sengaja atau tidak sengaja, dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi kami telah berbuat durhaka kepada-Mu dan telah menganiaya diri kami sendiri. Maka maafkanlah kami dan ampunilah dosa-dosa kami. Innaka ‘Afuwwun Tuhibbul ‘Afwa Fa’fu ‘Anna.
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ربنا تقبل منا انك انت السميع العليم وتب علينا انك انت التواب الرحيم. آمين يا رب ا لعالمين يا حي يا قيوم يا ذالجلال والإكرام وصل وسلم على نبينا محمد وعلى آله واصحابه اجمعين
***
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/08/07/37711/khutbah-idul-fitri-1434-h-hakikat-kembali-kepada-fitrah/#ixzz2mZ68iwX2
One Comment