Saatnya Hijrah: Renungan Tahun Baru Islam 1435 H

Saatnya Hijrah: Renungan Tahun Baru Islam 1435 H

Oleh: Ghusni Darodjatun

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia. Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS Al-Anfal: 72-75)

Dalam konteks hijrah, telah hadir dua kelompok manusia yang secara bersama mendapat penghargaan dan tempat istimewa di sisi Allah atas ketulusan pengorbanan dan pengabdian mereka. Dua kelompok tersebut diabadikan dengan istilah yang indah dalam Al-Qur’an, yaitu Muhajirin dan AnsharMuhajirin adalah orang-orang yang dengan suka rela meninggalkan semua yang mereka miliki beserta tanah air tempat tinggal mereka demi menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan kelompok Anshar adalah mereka yang siap menerima, membela, memberi perlindungan dan bantuan kepada orang-orang yang berhijrah dengan tanpa mengharapkan imbalan selain balasan pahala dari Allah swt.

Kedua kelompok manusia ini diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an dengan penghargaan dan jaminan yang tertinggi Ridha Allah dan surga-Nya yang abadi. Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (QS At-Taubah: 100).

Yang menarik untuk dicermati dari ayat yang menyebut aktor pelaku hijrah bahwa selain dari kelompok Muhajirin dan Anshar, Allah masih membuka peluang jaminan dan penghargaan yang sama dengan mereka bagi siapapun yang mampu mengikuti jejak teladan kedua kelompok itu dengan baik pasca hijrah yang tersirat dari firman-Nya: “dan orang-orang yang mengikuti mereka (Muhajirin dan Anshar) dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”.

Demikian gambaran hijrah Rasul dengan para sahabatnya dalam konteks sejarah ayat di atas ternyata sarat dengan nilai perjuangan, pengorbanan, kepedulian terhadap sesama, kesabaran dan persaudaraan (ukhuwah) yang melebihi batas kekeluargaan dan kekerabatan karena direkat dengan ikatan aqidah. Nilai luhur ini merupakan nilai universal yang berlaku sepanjang zaman pasca sabda Rasulullah saw tentang hijrah: “Tidak ada hijrah setelah pembebasan kota Mekah, tetapi jihad dan niat”. (H.R. Bukhari).

Pelajaran lain dari ayat-ayat hijrah, bahwa aktivitas hijrah tidak terlepas dan selalu diapit dengan iman sebagai pondasi dan perjuangan (jihad) sebagai nilai aplikatif dari hijrah. Pendampingan dan pengapitan hijrah dengan iman dan jihad di dalam Al-Qur’an tentu bukan sebatas memenuhi standar keindahan bahasa Al-Qur’an, tetapi lebih dari itu terdapat nilai dan hikmah yang dikehendaki oleh Allah agar kita senantiasa memaknainya; bahwa hijrah memang merupakan bukti ketulusan iman seseorang, sedangkan jihad merupakan buah sekaligus konsekuensi logis dari aktivitas hijrah. Iman tanpa hijrah tidak akan bermakna, begitu pula hijrah tanpa jihad berarti tidak berbuah. Makanya pendampingan ini berulang sebanyak sembilan kali, diawali dengan surat Al-Baqarah: 218 yang berbunyi: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Kemudian disusul secara berurutan dengan surat Ali Imran: 195, Al-Anfal; 72-75, At-Taubah: 20, An-Nahl: 41 dan 110, serta surat Al-Hajj: 58.

Semua ayat yang berbicara tentang hijrah di atas adalah dalam konteks hijrah makaaniyyah (hijrah fisik; perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain) untuk mempertahankan aqidah. Terdapat hanya satu ayat yang berbicara dalam konteks hijrah ma’nawiyyah (hijrah nilai; berubah dari satu keadaan menuju keadaan yang lebih baik), yaitu firman Allah swt: “Maka Luth membenarkan (kenabian)nya. Dan berkatalah Ibrahim: “Sesungguhnya aku senantiasa berhijrah kepada Tuhanku; sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Al-Ankabut: 26). Dan di antara yang harus ditinggalkan dalam konteks hijrah ma’nawiyyah seperti yang pernah Allah perintahkan kepada Rasulullah di era awal turunnya Al-Qur’an adalah perbuatan dosa dan maksiat seperti firman-Nya: “Dan perbuatan dosa tinggalkanlah” (QS Al Muddatstsir: 5).

Bagi setiap orang beriman, siapapun dia, apakah rakyat atau pejabat, penguasa atau rakyat jelata, menteri atau tukang patri, anggota DPR atau penjual ember, pemikir atau tukang parkir, dan lainnya, peristiwa hijrah makaaniyyah yang sangat kondisional dan mungkin tidak akan berulang sebagaimana di era Rasul, tetapi nilai dan pelajarannya masih tetap relevan, yaitu tentang kesabaran, kesiapan berkorban dan berjuang, kepedulian terhadap sesama, persaudaraan yang dibangun atas dasar iman dengan itsar (mendahulukan kepentingan orang lain, di atas kepentingan pribadi) sebagai peringkat yang tertinggi, dan ta’aawun (saling menolong) untuk memperkuat posisi Islam dan umatnya. Kehidupan sosial yang ideal dan harmonis justru dirasakan oleh para sahabat saat peristiwa hijrah berlangsung. Ditambah dengan hijrahma’nawiyyah yang merupakan media komunikasi dan harmonisasi hubungan dengan sang Khaliq. Semoga nilai dan pelajaran hijrah akan senantiasa mewarnai kehidupan kita menuju kehidupan yang lebih baik di bawah naungan rahmat dan ridha Allah SWT. Sungguh betapa bernilai memang pelajaran hijrah para sahabat Rasul sehingga layak dijadikan momentum untuk melakukan perubahan dan perbaikan arah yang lebih baik, baik dalam skala pribadi, keluarga, dan sosial. Inilah saat terbaik untuk berkomitmen memulai hijrah…

***
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/11/03/41595/saatnya-hijrah-renungan-tahun-baru-islam-1435-h/#ixzz2mYio1Kll

Tinggalkan Balasan

Alamat email anda tidak akan dipublikasikan. Required fields are marked *