Sirah Shahabiyah Ummu Habibah, Wanita yang Dimuliakan Allah, dan Rasul Allah

Sirah Shahabiyah Ummu Habibah, Wanita yang Dimuliakan Allah, dan Rasul Allah

Ummu Habibah, Shohabiyah yang petama kali berhijrah

ummu habibah
ilustrasi hijrah ke habasya

Ummu Habibah binti Abu shufyan adalah wanita tegar dan sabar. Betapa tidak, diawal Rasulullah SAW menyampaikan risalah dakwahnya, Ummu Habibah termasuk generasi pertama yang masuk Islam, meskipun ayah Ummu Habibah yaitu Abu Sufyan ketika itu masih kafir dan jadi penentang utama dakwah Rasulullah SAW.

Bagi Ummu Habibah sungguh berat resiko yang harus diambil, bukan hanya karena ia sebagai anak dari seorang tokoh Quraisy yang menentang dakwah dengan lantang dan gencar, tetapi juga karena Ummu Habibah seorang perempuan. Pada saat itu sangat jarang perempuan berani mengemukakan pendapatnya apalagi yang berbeda dengan pendapat pada umumnya, karena kondisi pada saat itu lelaki sangat berkuasa dan tidak memberi tempat kepada perempuan untuk mengemukakan pendapat, kecuali sekedar pengekor. Karena kehidupan dikendalikan dan dikuasai oleh para lelaki, perempuan hanya sebagai pelengkap jika dibutuhkan, bahkan tak jarang perempuan dibunuh hanya karena statusnya terlahir sebagai perempuan, karena perempuan dianggap hanya menjadi beban, tidak bisa diajak berperang dan berburu. Inilah bukti bahwa Ummu Habibah seorang pribadi yang tegar, kokoh, sabar dan berani menentang arus.

Ummu Habibah adalah nama julukan, nama asli Ummu Habibah adalah Romlah. Ayahnya adalah seorang tokoh dan cendekiawan Quraisy, yaitu Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu’ay bin Ghalib. Setelah bertahun-tahun ayah Ummu Habibah ini menjadi penentang dakwah Rasulullah SAW yang sangat keras, namun pada akhirnya Ayah Ummu Habibah ini mendapat hidayah dan masuk Islam di penghujung usia  Rasulullah SAW yaitu pada peristiwa Fathu Makkah pada tahun ke 8 H.

Ummu Habibah merupakan seorang sepupu Rasulullah SAW, Saudara kandungnya Muawiyah bin Abu Sufyan. Muawiyah adalah sahabat Rasulullah SAW yang dipercaya sebagai salah seorang penulis wahyu dan menjadi gubernur Mesir di masa pemerintahan Umar binKhaththob.  Ibu kandung Ummu Habibah adalah Shafiah binti Abil Ash bin Umayyah, bibi Ustman bin Affan r.a.

Ummu Habibah dilahirkan 17 tahun sebelum Rasulullah SAW diangkat menjadi nabi dan Rasul. Ummu Habibah menikah dengan Ubaidillah bin Jahsy Al-Asady dan dikaruniai seorang puteri yang diberi nama Habibah. Dari sinilah julukan/gelar Romlah berganti nama menjadi Ummu Habibah, artinya ibunya Habibah. Karena itulah maka Romlah lebih dikenal dengan nama gelar tersebut yaitu Ummu habibah.

Kehidupannya terus berlanjut dalam ketenangan dan ketentraman hingga terbitlah fajar Islam. Kalimat tauhid merebak menerangi kegelapan di setiap sudut kota Makkah. Suami Ummu habibah menyimak firman Allah ta’ala dalam untaian indah yang disampaikan oleh junjungan nabi Muhammad SAW di rumah Arqom bin Abil Arqom. Maka Ubaidillah bin Jahsy menyatakan masuk Islam. Suami Ummu Habibah pulang ke rumah sebagai insan yang baru. Dipeluknya istrinya dengan kehangatan dan kelembutan. Dia khawatir istrinya mengetahui bahwa dirinya telah masuk Islam, mengingat Ummu Habibah adalah anak seorang pembesar Quraisy yang sangat keras dan gigih menentang dakwah Islam. Dia khawatir Ummu Habibah akan lari menjauh dari tauhid dan tidak mau memenuhi seruan untuk masuk Islam- jika ia mengajaknya .

Di tengah keheningan malam, bangunlah Ubaidillah , ia mengira istrinya sedang terlelap. Ia mengendap melakukan sholat dengan suara lirih melantunkan ayat suci, memohon bimbingan dan taufik hidayah untuk istrinya tercinta, Ummu Habibah. Agar Allah SWT menerangi sukmanya dengan cahaya Islam yang merasuk ke relung jiwa istrinya, sehingga cahaya Islam akan menerangi seisi rumahnya, dn menunjukkan jalan kehidupan.

Alhamdulillah, pada akhirnya hidayat Allah SWT itu  hadir menyapa jiwa Ummu Habibah yang hanif dan lembut. Dengan penuh kerelaan dan kesadaran Ummu Habibah mengikuti jejak langkah suaminya memeluk agama Islam, meskipun ayahnya berada di seberang jalan sebagai penentang keras dakwah Nabi Muhammad SAW. Tetapi hatinya telah mantap, ikrar telah diucap, jiwa sudah mendekap, hidayah makin kuat tertancap, jantung terasa berderap, memuja dan mengharap hanya kepadamu ya Rabb.

Ummu Habibah, sejak hari itu meraakan kebahagiaan, ia mengecap cita rasa kehidupan yang baru dan bahwa keberadaan manusia di bumi memiliki tujuan yang besar dan agung dari pada tujuan yang dikemukakan para sesepuh dan tokoh adat di Makkah, yang mempersembahkan benda-benda sesajen berupa harta benda yang berlimpah.

Rasululullah SAW yang penuh belas kasih tak tega melihat penindasan dan penderitaan yang dialami kaum mukminin oleh kekejaman musyrikin kafir Qurais. Akhirnya beliau mengizinkan kaum mukminin untuk berhijrah ke Habasyah, sebab di negeri itu mereka akan menemukan keamanan dan keadilan dalam perlindungan seorang raja yang saleh bernama Najasyi.

Rombongan pengungsi berangkat secara bergelombang dan penuh rahasia, karena takut jika diketahui oleh kaum musyrikin Makkah akan dihalangi dan diintimidasi. Kaum Muhajirin pergi meninggalkan tanah kelahiran mereka dengan sedih meninggalkan seluruh harta dan kerabat mereka demi membela dan mempertahankan cahaya keimanan di dada mereka.

Ada riwayat yang mengatakan Habibah dilahirkan di Makkah dan kemudian dibawa Hijrah ke Habasyah sekarang negeri itu lebih dikenal dengan nama Etiopia salah satu negara di benua Afrika. Ada pula yang meriwayatkan bahwa Ummu Habibah berhijrah saat mengandung, sehingga Ummu Habibah merupakan wanita pertama yang berhijrah dan melahirkan disaat dalam kondisi susah di negeri yang jauh sebagai pengungsi.

Ummu Habibah dan suaminya masuk Islam di saat kondisi Islam masih lemah dan menjadi minoritas ditengah hegemoni kaum musyrikin yang menyembah berhala. Ummu Habibah dan suaminya termasuk rombongan Muhajirin yang hijrah ke negeri Habasyah gelombang kedua. Namun cobaan berat dan tidak terkira harus dilalui Ummu Habibah di kemudian hari.

Ummu Habibah hidup di negeri asing yang jauh dari sanak saudara, hidup sebagai pengungsi yang mendapat belas kasihan dari Raja Najasyi, ditengah-tengah masyarakat beragama Nasrani. Rupanya kehidupan masyarakat Nasrani menarik hati suaminya, sehingga ia murtad kembali kepada kekafiran dan menjadi  pemeluk agama Nasrani.

Ummu Habibah merasakan deraan penderitaan yang sangat berat. Betapa tidak, ia harus menghidupi anaknya yang masih kecil di negeri yang jauh menyeberang lautan, tanpa saudara, tanpa suami. Sementara orang tuanya ketika itu masih menjadi penentang agama yang diyakini dan dianutnya. Tak ada pembela tak ada tempat mengadu selain kepada Allah SWT.

Betapa galau dan sedih jiwa Ummu Habibah menghadapi cobaan berat ini. Suami yang diharapkan menjadi pengganti orang tua, menjadi wali yang dapat melindunginya, justru menjadi orang yang tak halal baginya. Perceraian akhirnya tak dapat dielakkan. Ummu Habibah memilih meneguhkan imannya dari pada mengikuti agama baru suaminya, dan mantap untuk berkeputusan berpisah dari suaminya meskipun di negeri itu ia tidak memiliki sanak saudara.

Ummu Habibah menuturkan kisah kemurtadan suaminya dalam Thobaqot yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad:

” Saat tidur aku bermimpi melihat suamiku Ubaidillah bin Jahsy dengan rupa yang sangat buruk dan menjijikkan. Akupun tersentak bangun … dan berkata dalam hati, ‘ demi Allah kondisinya telah berubah. Maka di pagi harinya suaminya berkata:” Wahai Ummu Habibah, aku perhatikan tentang agama maka tidak ada agama yang lebih baik dari agama Nasrani, dahulu aku pernah memeluknya, kemudian aku masuk ke dalam agama Muhammad, maka kini aku kembali memeluk agama Nasrani.”

Ummu Habibahpun menjawab:” Demi Allah tidak ada kebaikan bagimu. Lalu aku beritakan mimpiku tersebut, namun suaminya tidak senang, dia semakin tidak menghiraukannya.  Sejak itu ia tenggelam dalam minuman Khamr dan sampai  akhirnya meninggal dunia.”

Ummu Habibah wanita pilihan, dia bertahan dengan  ujian dan cobaan yang sangat berat. Setelah ia menempuh perjalanan ribuan kilometer dan berjuang menempuh perjalanan yang jauh dalam keadaan hamil, demi mempertahankan aqidahnya meninggalkan kampung halaman dan sanak saudara yang sangat dicintai, Ummu Habibah kembali dihadapkan dengan kenyataan pahit yang harus ditelannya. Kini dia harus menghadapi suaminya yang memilih murtad .

Ya begitulah ujian keimanan selalu datang bertubi-tubi untuk meneguhkan dirinya dan makin mendekatkannya kepada Allah, agar Ummu Habibah tidak terbawa dengan agama dan keyakinan suaminya. Tetapi tetap berpegang teguh dengan Islam yang diyakininya apapun resikonya, dia akan hadapi semuanya.

 

Menikah dengan Rasulullah

 

ummu habibah iii
ilustrasi

Ketabahan Ummu Habibah menjaga keimanannya di negeri asing yang jauh sebagai pengungsi akhirnya berbuah manis. Karena Allah SWT mengganti suaminya dengan manusia terbaik sejagad raya dunia akhirat.  Makhluk paling mulia di muka bumi, dialah Rasulullah SAW.

Mengenai hal tersebut, Ummu Habibah kembali bermimpi seperti yang dituturkannya:

” Aku bermimpi didatangi seseorang yang memanggilku:

Wahai Ummul Mukminiin…”

Akupun tersentak kaget.  Oh… apakah ini sebuah pertanda…?

Ooh… apakah mungkin aku menjadi salah satunya?

Oh… Robbii… inikah takdir-Mu kepadaku setelah  Kau uji diriku dengan deraan yang memilukan dan mengguncang nuraniku…, dan nyaris membutakan pikiranku dan menghantam sukmaku…? Apakah benar ya Allah …. Engakau akan menjadikan aku salah satu istri dari makhluk yang paling mulia di jagad raya?… Menjadi bagian dari Ahlul bait, menjadi seorang istri junjungan Nabi?

Ummu Habibah hampir tak percaya dan merasa sangat melambung tinggi. Ya… betapa tidak, panggilan Ummul Mukminiin adalah sebuah gelar yang hanya dapat disandang oleh para Istri Rasulullah SAW. Karena para Istri Rasulullah SAW adalah perempuan mulia yang kepadanya disandarkan segala kebaikan, menjadi rujukan segala perilaku para shohabiyah dan menjadi tempat bertanya sebagai perantara antara shohabiyah dan Rasulullah SAW. Sehingga mereka dianggap menjadi ibu bagi semua kaum mukminin. Para istri Rasulullah SAW dilarang untuk dinikahi setelah Rasulullah SAW wafat.

النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ وَأُوْلُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَن تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُم مَّعْرُوفاً كَانَ ذَلِكَ فِي الْكِتَابِ مَسْطُوراً 

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri[1200] dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik[1201] kepada saudara-saudaramu (seagama). adalah yang demikian itu Telah tertulis di dalam Kitab (Allah).

[1200]  Maksudnya: orang-orang mukmin itu mencintai nabi mereka lebih dari mencintai diri mereka sendiri dalam segala urusan.

[1201]  yang dimaksud dengan berbuat baik disini ialah berwasiat yang tidak lebih dari sepertiga harta.

Ayat ini menegaskan kedudukan para istri nabi adalah sebagai ibu bagi kaum mukminin.

Seorang Wanita, jika suaminya meninggal dunia, ia harus menjalani masa Iddah yaitu masa tenggang waktu bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya, yaitu 4 bulan sepuluh hari, atau 3x masa suci dari haidh. Ketika  Ummu Habibah selesai menjalani masa iddah, tiba-tiba datang utusan dari Raja Najasi seorang budak bernama  Abrahah datang kepadaku dengan pakaian bagus dan aroma harum. Lalu ia berkata: “ Sesungguhnya raja ingin menyampaikan kepadamu bahwa Rasulullah SAW telah mengirim surat yang berisi keinginan Rasulullah SAW menikahkan Ummu Habibah. “ Allah telah memberikan kabar gembira kepadamu.

Rupanya Rasulullah SAW sebelumnya telah mengutus Amr bin Umayyah Adh-Dhamri untuk meminta kepada Raja Najasyi agar menikahkannya dengan Ummu Habibah.

Berita ini sungguh membuat gembira Ummu Habibah. Ia merasa tersanjung, hatinya dipenuhi bunga-bunga keimanan. Takwil mimpinya ternyata benar, ia akan menjadi salah seorang istri dari manusia agung dan mulia. Tak putus-putus pujian dan rasa syukur Ummu Habibah panjatkan kepada Allah SWT. Saking bahagianya, Ummu Habibah memberikan hadiah perhiasannya berupa cincin perak, satu-satunya perhiaan yang dimilikinya kepada Abrahah sang budak yang membawa surat tersebut.

Raja Najasyi memintanya menunjuk seorang wali untuk menikahkannya. Maka Ummu Habibah meunjuk salah seorang sepupunya yang  beriman dan ikut berhijrah ke Habasyah yaitu Kholid bin Sa’id bin Al Ash bin Umawiyyah. Adapun Rasulullah SAW diwakilkan oleh raja Najasyi, bahkan sang raja menyiapkan mahar atas nama Rasulullah SAW sebesar 400 dinar emas, ada pula riwayat yang mengatakan 4000 dirham perak kepada Ummu Habibah. Padahal istri-istri Rasulullah yang lain umumnya diberi mahar 400-500 dirham.

Ummu Habibah menjadi sangat istimewa, pernikahannya dengan Rasulullah SAW mendapat mahar yang paling banyak dari istri-istri yang lain. Pernikahan ini penuh keberkahan karena dilangsungkan di negeri yang sangat jauh dalam suasana penuh keharuan dan kesederhanan.

Raja Najasyi mengawalinya dengan hamdalah, lalu berkata:” Amma ba’du, sesungguhnya Rasulullah SAW telah mengirim surat kepadaku agar menikahkannya dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Maka aku memenuhi permintaan Rasulullah dengan memberinya mahar sebanyak 400 dinar”. Seraya mengeluarkan uang 400 dinar tersebut dihadapan semua yang hadir.

Lalu Khalid bin Sa’id berkata setelah bertahmid memuji Allah: ” Amma ba’du: Aku telah menerima permintaan Rasulullah SAW maka aku kawinkan beliau kepada Ummu Habibah binti Abu Sufyan, semoga Allah SWT memberkahi.

Ketika selesai pelaksanaan akad nikah, para sahabat yang menghadiri upacara aqad nikah menyadari bahwa mereka hanyalah berstatus sebagai pengungsi, karena itu merekapun hendak beranjak dari duduknya, namun ditahan oleh raja Najasyi, beliau berkata:” Duduklah kalian, sesungguhnya sunnah para nabi jika mereka menikah adalah tersedia hidangan untuk disantap. Ternyata raja telah menyiapkan perjamuan untuk semua yang hadir.

Ketika mahar telah diterima oleh Ummu Habibah, sekali lagi Ummu Habibah mengungkapkan kebahagiaannya dengan memberi hadiah kepada budak yaitu Abrahah dengan memberi sejumlah uang dinar dari mahar tersebut.  Namun kali ini Abrahah menolak, ia mengembalikan uang tersebut, bahkan mengembalikan perhiasan yang sebelumnya telah diberikan oleh Ummu Habibah. Kemudian berkata:” Aku telah menjadi seorang muslim, dan aku dilarang menerima apapun dari kalian para Muhajirin, karena raja telah memenuhi semua keperluanku. Permintaanku kepadamu adalah sampaikan salamku kepada Rasulullah bahwa aku telah mengikuti agamanya.” ucap Abrahah mantap.

Perhatian raja Najasyi tidak hanya sampai di situ, bahkan ia meminta para istrinya agar ikut memberi hadiah kepada Ummu Habibah. Keesokan paginya, Ummu Habibah mendapat hadiah dari para istri raja Najasyi berupa minyak wangi berbagai jenis yang utama dan terbaik yang biasa dipakai kalangan permaisuri raja. Ummu Habibah menyimpannya untuk kemudian dibagikan kepada istri-istri nabi yang lain. Peristiwa tersebut terjadi pada th ke 6 H.

Di Makkah, perayaan pernikahan dirayakan, malam itu Makkah tidak tidur, Ustman bin Affan menyembelih ternak yang banyak, menjamu manusia. Pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah  sampai juga beritanya kepada Abu Sufyan. Ia berkata:” Jantan ini tidak dapat dipotong hidungnya”. Dalam riwayat lain dikatakan;” Orang ini (Rasulullah) memiliki kedudukan sepadan yang tidak pantas ditolak” . Sebagai bukti pengakuan Abu Sufyan atas kemuliaan Rasulullah SAW meskipun ia tak henti-henti memusuhi dan memeranginya hingga saat itu. ( Abu Sufyan masuk Islam th ke 8 H, pernikahan tersebut terjadi pada th ke 6 H).

Sejak saat itu, terhapuslah segala penderitaan berganti kegembiraan,  kesedihan berganti kebahagiaan dan kegalauan berubah menjadi ketenangan, kehinaan berganti dengan kemuliaan dan kebahagian. Karena Ummu Habibah kini berubah status menjadi Ummul mukminin.

Bergabung Dalam Rumah Rasulullah SAW

Setahun setelah menikah dengan RasulullahSAW, pada tahun 7 H, Ummu Habibah meninggalkan Habasyah menuju Madinah untuk bertemu dengan sang suami, dan memasuki kehidupan rumah tangga, bergabung dengan para istri Nabi yang lain. Pada saat itu usianya kisaran 30-an tahun. Rasulullah SAW memerintahkan Bilal bin Rabah untuk mengantarkan Ummu Habibah menuju rumah yang dimaksud.

Ummu Habibah pandai mengurus rumahnya, begitu dia memasuki rumahnya, ia menyapu dan menata rumahnya dengan baik. Ia juga berdandan dan memakai minyak wangi pemberian istri-istri raja Najasyi, Ummu Habibahpun  bersiap menyambut kedatangan suaminya.

Para istri nabi yang lain pun menyambut kedatangannya dengan tangan terbuka, karena Ummu Habibah berasal dari keluarga terpandang dari kaumnya. Aisyahpun yang terkenal istri  Rasulullah yang pencemburu, menyambut kedatangannya dengan tangan terbuka.

Turunnya ayat atas pernikahan Ummu habibah dengan Rasulullah

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيهِمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ ۚ وَمَن يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ(6)

عَسَى اللَّهُ أَن يَجْعَلَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الَّذِينَ عَادَيْتُم مِّنْهُم مَّوَدَّةً ۚ وَاللَّهُ قَدِيرٌ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ(7)

Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian. dan barangsiapa yang berpaling, Maka Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. dan Allah adalah Maha Kuasa. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

 

Pendapat ulama tafsir dengan ayat ini

Sebagian ulama tafsir dan para penyusun sunan serta penulis buku-buku sejarah menegaskan bahwa ayat ini diturunkan ketika terjadi pernikahan Rasulullah dengan Ummu Habibah. Hal ini disampaikan oleh Ibnu Katsir, Imam Al-Wahidi, Ibnu Sa’ad dan Imam Muslim dalam hadits shohihnya.

Ayat ini menjadi isyarat bahwa dengan pernikahan tersebut permusuhan antara Abu Sufyan yang sangat keras kepada dakwah Rasulullah SAW semoga menjadi berkurang, karena bagaimanapun antara ayah dan anak ada hubungan darah dan kasih sayang. Sekarang pribadi agung dan mulia itu telah menjadi bagian dari keluarganya. Abu Sufyan sudah mulai merasakan getaran-getaran menuju hidayah merasuki  relung jiwanya. Namun kedudukannya yang mulia di tengah kaumnya, dan kekhawatiran akan kehilangan kedudukannya di masyarakat yang boleh jadi  akan digantikan orang lain, menjadi penghalang dirinya untuk menyatakan keislamannya.

Abu Sufyan menjadi pemimpin utusan kaumnya yang ditanya oleh raja Romawi Heraclius segala peirihal tentang kenabian Muhammad SAW. Heraclius meminta kesaksian utusan lain jika jawaban Abu Sufyan tidak benar.

Heraclius bertanya kepada Abu Sufyan:”Apakah nenek moyang Muhammad ada yang menjadi raja?”

Abu Sufyan menjawab :” tidak ada”

Heraclius bertanya lagi:” Apakah Muhmmad merupakan keturunan yang terhormat dalam masyarakat kalian?”

Dia menjawab: ”Ya”

Tanya Heraclius:”Apakah kalian menuduhnya dusta sebelum dia mengaku menjadi nabi?”

Dia menjawab:” tidak pernah , kami tidak pernah menuduhnya berdusta sebelum dia mengaku menjadi Nabi”

Heraclius bertanya:”Apakah dia diikuti kaum duafa atau kaum terpandang?”

Abu sufyan menjawab:” Dia diikuti kaum yang lemah (duafa) yang menjadi pengikut setia”

Heraclius bertanya:” apakah pengikutnya terus bertambah atau berkurang?”

Dia menjawab:”pengikutnya terus bertambah besar dan banyak”.

Heraclius bertanya :” Apakah ada dari pengikutnya yang keluar dari agamanya karena benci, setelah dia memeluknya?”

Dia menjawab:” tidak”

Heraclius bertanya:“Apakah Kalian memeranginya?”

Dijawab abu Sufyan:” ya”

Heraclius menanyakan tentang perang yang berlangsung antara mereka dengan Muhammad. Abu Sufyan menjawab kadang-kadang mereka menang, dan kadang-kadang kami kalah.

Heraclius beranya :” Apakah dia suka berkhianat?”

“Tidak, dia tidak pernah berkhianat.”jawab Abu Sufyan.

Heraclius bertanya:” Apa yang dia perintahkan kepada kalian?”

Abu Sufyan menjawab:” Dia menyuruh kami agar menyembah Allah yang Esa dan tidak menyekutukan Nya dengan apapun. Dia melarang kami menyembah apa yang disembah nenek moyang kami. Dia menyuruh kami sholat, berkata jujur, memelihara kesucian diri dan bersilaturahim.”

Heraclius berkata:”Itu adalah sifat seorang nabi. Aku sudah tahu bahwa akan diutus seorang nabi, tetapi aku menyangka bahwa nabi itu dari kalangan kami, bukan dari kalangan kalian. Ingin rasanya aku menemui dia. Kalaulah aku tidak menduduki jabatan kerajaan, niscaya aku pergi menemuinya. Jika apa yang engkau katakan itu benar, niscaya dia akan menguasai bumi tempat kedua kakiku berpijak.”

Abu Sufyan berkata:” ketika meninggalkan tempat mereka, aku berkata kepada teman-temanku :” Sungguh besar urusan Ibnu Abi Kabsyah. Dia benar-benar dipandang sangat penting oleh raja bani Al-Ashfar (Heraclius)” (Kisah panjang ini diriwayatkan oleh Bukhory, Muslim, dan Ahmad)

Hari berganti bulan berganti, bulan berganti tahun, tibalah suatu saat dimana kaum Quraisy melanggar perjanjian Hudaybiyah yang diikat antara kaum mukminin dan kaum musyrikin Quraisy, yang berupa gencatan senjata selama 10 tahun, namun baru beberapa tahun saja perjanjian tersebut sudah dilanggar oleh kaum musyrikin. Sementara itu pengikut nabi Muhammad bertambah banyak dan pasukannya bertambah kuat. Sehingga timbul kegusaran di hati Abu Sufyan sebagai pemimpin kaum musyrikin Makkah, dia takut pelanggaran tersebut berakibat buruk berupa penyerangan kaum mukminin kepada mereka.

Kegusaran masyarakat Makkah dan Abu Sufyan menyebabkan diutusnya Abu Sufyan untuk datang sendiri menemui Nabi Muhammad di Madinah untuk memintakan maaf dan permohonan berunding. Mengapa Abu Sufyan yang dijadikan utusan? Tentu saja tak lain dan tak bukan karena adanya hubungan kekerabatan buah pertalian pernikahan antara Ummu Habibah yang merupakan anak kandung dari Abu Sufyan dengan baginda Rasulullah SAW.

Abu Sufyan mendatangi rumah anaknya memohon untuk dibantu memperlancar urusannya. Ummu Habibah sangat terkejut dengan kedatangan ayahnya, bertahun-tahun hubungan ayah anak tersebut merenggang, terpisah dengan jurang kekafiran dan permusuhan. Tentu saja Ummu Habibah menjadi kikuk dan bingung bagaimana bersikap. Ummu Habibah diam mematung, dia tidak tahu harus berkata apa, dan bersikap bagaimana.  Tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Ia sudah mengetahui keputusan Rasulullah untuk memberi pelajaran atas pelanggaran yang telah dilakukan kaum musyrikin Makkah.

Abu Sufyan memahami kegalauan putrinya, yang tidak mempersilahkannya masuk dan duduk. Dia berisiatif duduk di tikar, belum sempat tubuhnya menyentuh tikar tersebut, Ummu Habibah segera meloncat, Dia menarik tikar tersebut dan melipatnya.

Abu Sufyan tersinggung, baru kali ini dia merasakan tidak punya kewibawaan dan harga diri sebagai manusia. Ia pun berujar:” Hai anakku, mengapa engkau melipat tikar itu, apakah karena engkau membenciku, atau karena engkau tidak suka kalau aku duduk diatas tikar itu?”

“Ini adalah alas milik Rasulullah SAW, sedangkan Engkau adalah musyrik dan memusuhi Rasulullah SAW. Aku tidak rela jika engkau duduk di atasnya.”Tegas suara Ummu Habibah berwibawa di depan ayahnya.

Abu Sufyan pergi dengan marah, dia beranjak menemui Rasulullah SAW, Rasulullah SAW tidak menghiraukannya, dia berusaha menemui sahabat Abu Bakar. Abu Bakarpun menolaknya. Dia menemui Umar bin Khoththob. Umarpun menolak, sehingga Abu Sufyan hampir putus asa dia menjumpai Ali, namun semua sahabat Rasulullah SAW tak ada yang mau menolongnya. Abu Sufyanpun kembali ke Mekkah sebagai orang yang putus asa dan lemah lunglai penuh kehinaan tidak memiliki kewibawaan seperti yang selama ini dibangga-banggakannya. Bahkan harapan satu-satunya kepada anak perempuannya yang telah menjadi istri Rasulullah SAW yaitu Ummu Habibah sungguh di luar dugaan. Penolakan itu telah menyudutkannya, dan merontokkan harga dirinya. Terbayang sudah dipelupuk mata akan kesulitan dan peperangan yang harus ditanggung oleh kaum musyrikin Makkah.

Kondisi sekarang berbalik, pendukung Muhammad SAW yang dulu terusir hina dan diperangi di Makkah, kini dalam waktu singkat tak sampai 10 tahun telah berubah menjadi kekuatan raksasa yang tak terbendung.  Terbayang kembali kecamuk pikiran di benak Abu Sufyan akan perkataan Heraclius yang meramalkan kekuasaan Muhammad akan terus meluas mencapai kerajaannya dan bumi tempatnya berpijak. Ooh… Abu Sufyan benar-benar tak berdaya.

Penaklukkan Kota Makkah

Dia meyakini bahwa Rasulullah SAW bersama pengikutnya akan merampas tanah Makkah dari berbagai pejuru.  Tentara yang banyak telah bergerak menuju  Makkah. Tanah yang sangat dirindu, delapan tahun sudah mereka meninggalkan tanah kelahiran demi mempertahankan keimanan. Kini tibalah saatnya untuk menegakkan kalimat Allah SWT dengan penuh kewibawaan di tanah mulia tempat berdirinya rumah Allah , Ka’bah yang mulia.

Abu Sufyan berangkat untuk mengawasi perbatasan. Dia ingin mengecek sendiri kondisi yang sebenarnya dengan mata  kepalanya sendiri. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan Abbas bin Abdul Muththolib yang berkata:” Hai Abu Sufyan, Rasulullah SAW berada di tengah-tengah massa… bagaimana nasib kaum Quraisy jika besok mereka memasuki Makkah dengan paksa?”

Abu Sufyan benar-benar mati gaya, dia tidak bisa lagi berpikir, maka dia berujar:” Jadi aku harus bagaimana, semoga ayah ibuku jadi tebusannya?”

Abbas menyertainya, mengajaknya melewati tentara yang sangat panjang berbaris. 10.000 pasukan tempur siap menyerang Makkah, mereka menyalakan api unggun untuk menggetarkan musuh. Ketika Umar mengenalinya, Abu Sufyan berlindung di belakang Abbas karena takut ditebas lehernya. Terbayang jelas bagaimana dahulu kaum musyrikin menyakiti dan memerangi kaum mukminin pengikut Nabi. Kini suasana telah berubah, segalanya telah berbalik arah.

Keesokan harinya Abu Sufyan menemui Rasulullah SAWditemani oleh Abbas yang merupakan paman nabi. Namun kesombongan masih tersisa di dada Abu Sufyan, dia belum segera menyatakan keislamannya. Akhirnya Rasulullah SAW memahami kedudukannya. Maka beliau bersabda:” Barangsiapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, maka ia aman, barangsiapa yang masuk ke rumahya, maka dia aman, barangsiapa yang masuk ke Ka’bah maka dia aman.”(Hadits riwayat Muslim)

Berbagai berita mengenai Abu Sufyan sampai ke telinga Ummu Habibah, Ia mengetahui bahwa Rasulullah SAW suaminya, menghormatinya, meskipun dahulu Abu Sufyan sangat keras memerangi dakwah Rasulullah SAW suaminya. Ummu Habibah bersujud syukur, dia menunggu kembalinya sang manusia Agung Rasulullah SAW dari penaklukkan kota Makkah secara damai tanpa pertumpahan darah.

Tibalah Rasulullah SAW di Madinah, setelah menaklukkan Makkah dengan damai tanpa pertumpahan darah. Beliau menceritakan kepada Ummu Habibah perihal keislaman ayahnya yaitu Abu Sufyan.

Kepribadian Ummu Habibah

  1. Tegas terhadap kekufuran, berani menantang kezaliman.   Liku-liku perjalanan hidup Ummu Habibah terbilang berat, cobaan demi cobaan menimpa dirinya namun dia tetap teguh dan tabah menghadapinya. Hadits terkenal yang diriwayatkan oleh Ummu Habibah:” Tiga perkara yang apabila terdapat pada diri seseorang maka dia akan merasakan lezannya iman, yaitu Allah dan Rasulnya lebih dicintai dari selainnya. Dia benci kembali kepada kekufuran, sebagaimana bencinya dia jika dilempar ke api neraka”.Hadits Ini menjadi isyarat gambaran kepribadian Ummu Habibah. Terbukti pada saat kedatangan Abu Sufyan yang masih kafir ke rumah Ummu Habibah saat pelanggaran perjanjian Hudaybiyah, Ummu Habibah menolak maksud kedatangannya, dan tidak mempersilahkannya masuk, bahkan melarangnya duduk di tikar milik Rasulullah SAW .Ini merupakan al -Wala’ wal-Bara’yang harus ditegakkan kepada jiwa setiap muslim. Bahwa hubungan ikatan kekerabatan tidak lebih berharga dari pada ikatan keimanan. Orang beriman harus berwala’ kepada sesama orang beriman. Dia harus memutuskan hubungan (al-Baro’) kepada ayahnya disebabkan kekafiran ayahnya dan permusuhannya kepada Rasulullah SAW.
  2. Komitmen melaksanakan sunnah. Ummu Habibah istri Rasulullah SAW yang memegang teguh sunnah Rasulullah SAW, dia banyak meriwayatkan hadits, salah satu hadits yang diriwayatkannya adalah:” Barangsiapa yang sholat   (sunnah rawatib) sebanyak 12 rakaat dalam sehari semalam, maka Allah membuatkannya rumah untuknya di surga. (H.R. Muslim) Sejak mendengar hadits tersebut, Ummu Habibah tidak pernah meninggalkannya, selalu mengamalkan sholat sunnah rawatib tersebut.
  3. Pemaaf

Menjelang wafatnya, Ummu Habibah memanggil para madunya sesama istri Rasulullah untuk meminta maaf dan memaafkan kesalahan sesama mereka, meskipun tidak ada riwayat tentang perselisihan diantara sesama istri Rasulullah, namun Ummu Habibah lebih dulu memberi maaf dan mengikhlaskan semuanya.

Ummu Habibah wafat pada tahun ke 44 H, di masa pemerintahan saudara kandungnya Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan.**** 22117. Ruqoyah Ridwan

Daftar Pustaka

AlQuran dan terjemah DEPAG.

Istri- istri dan puteri-puteri Rasulullah. Abdullah Khaidir.  Jakarta: Pustaka Ikadi 2013.

Tokoh-tokoh yang diabadikan Al-Qur’an. jilid 3, DR. Abdurrahman Umairah. Jakarta: Gema Insani Press, 2002.

101 Wanita Teladan di Masa Rasulullah. Hepi Andi Bastomi, Jakarta: Robani Press 2004

Siroh Nabawiyah , Shafiyyur Rahman Al Mubarokfury, Jakarta: Robbani Press 1998

Tinggalkan Balasan

Alamat email anda tidak akan dipublikasikan. Required fields are marked *